Tuesday, September 27, 2011

Kitab Gaul Seorang Dosen

Seorang kolega senior tiba-tiba mendatangi saya bertanya seraya menunjukkan HPnya. “Mas Andi, be-te-we itu artinya apa ya?” tanya beliau dengan polosnya. Saya jadi tergagap, antara takut salah dengar dan ingin spontan tertawa. “Ya Pak…” saya menjawab nanggung dan ragu. “Ini lo ada mahasiswa yang sms saya, pakai istilah be-te-we. Saya nggak ngerti. Anak-anak sekarang bahasanya aneh-aneh saja” beliau meneruskan sambil sedikit curhat. Saya baru paham tetapi berhasil menguasai diri untuk tidak tertawa. “Oh, be-te-we itu singkatan dari by the way, Pak” jawab saya kalem, seakan itu pertanyaan biasa yang memerlukan jawaban biasa saja. Beliau menjawab “Oh, saya kira artinya batas wilayah, bidang yang Mas Andi tekuni” Dalam hati saya terpingkal, what the, dan ingin berguling-guling di lantai.


Minggu berikutnya saya menceritakan perihal ini pada mahasiswa saat mengajar. Kelas berantakan karena tawa yang riuh rendah. Sejenak saya diamkan, lalu saya bilang “jangan tertawa dulu. Bagi kalian itu bahasa umum tetapi kan belum tentu umum bagi semua orang. Menurut kalian itu bahasa gaul tetapi belum tentu demikain menurut mereka yang usianya 30 tahun lebih tua dari kalian to” saya menjelaskan sambil masih menahan tawa. Berikutnya saya sampaikan beberapa istilah lewat tayangan power point: cing, asoy, nihh ye, memble, kece, boo, nek.
Wajah-wajah di depan saya bengong tidak mengerti. Begitu saya sampaikan bahwa itu adalah istilah gaul, para mahasiswa itu kembali tertawa. Gaul dari Hong Kong! mungkin ada yang berpikir demikian. Terjadilah obrolan ringan sebelum saya mulai meteri kuliah, bahwa gaul itu sangat tergantung dari konteks waktu.
Di lain kesempatan, seorang kawan saya mengeluh sambil berkelakar, adiknya sangat suka mengirim sms dengan bahasa gaul dan juga dengan karakter yang aneh bin ajaib. Satu waktu dia menerima sms kurang lebih “mz, aq plq skr” yang ternyata artinya “mas aku pulang sekarang” dan itu artinya minta dijemput. Begitu dinasihati untuk mengirim sms dengan cara biasa “mas tolong jemput skr”, si adik malah tertawa dan mengatakan “Ah resmi amat sih”. Kakak beradik ini tidak terpaut jauh dalam usia tetapi gaya komunikasi bisa sedemikian berbedanya.
Masih terkait bahasa, saya cukup sering dikontak oleh anak-anak muda, baik melalui FB, YM, Twitter atau jejaring sosial lainnya. Mengapa saya tau mereka itu anak muda? Karena kalimat pembukanya berbunyi “leh nalan gak?” Saya bingung menjawab pertanyaan seperti ini. Apakah jawabannya sebaiknya “leh” atau “boleh” atau “yo’i” atau “ok” atau “tentu saja” atau apa? Yang jelas pasti bukan “tentu saja boleh, sayapun senang berkenalan dengan Anda” karena kalimat ini akan merusak nuansa gaul yang susah payah dibangun oleh orang yang mengontak saya itu. Setelah saya sebut nama saya “Andi”, biasanya ada kalimat susulan seperti “andi nak mn?” yang kira-kira setara dengan “Anda berasal dari daerah mana?” Bagaimana saya harus menjawab pertanyaan ini? Apakah saya harus bilang “aq nak bali ker di jogja, lg kul di oz”? Kadang saya bertanya-tanya, mengapa orang ini tidak menggunakan bahasa standar saja dalam berkomunikasi sebelum tahu siapa orang yang diajaknya nobrol? Sering terjadi, bergitu mereka tahu saya sudah jauh lebih tua dari mereka dan berprofesi sebagai guru, mereka kelimpungan. Rupanya tidak sedikit anak muda yang mengganggap bahwa pemakai jejaring sosial itu semuanya sebaya dengan mereka.
Masih soal bahasa, saya sering menerima email dengan satu atau dua baris kalimat saja, tanpa pengantar, tanpa perkenalan dan langsung minta tolong. Jika emal demikian berasal dari orang yang saya kenal, tentu tidak masalah tapi jika dari orang asing, saya jadi bertanya-tanya. Bayangkan suatu hari Anda menerima email dari orang asing seperti ini:
Deadline ADS kapan ya? Infonya dong.
Email itu hanya satu baris, tanpa sapaan, tanpa perkenalan dan tanpa penutup. Sebenarnya bisa saja saya jawab tanpa banyak berpikir tetapi sering kali pikiran saya terganggu dengan perilaku komunikasi seperti ini. Ada dorongan dari dalam untuk memberi nasihat secukupnya sebelum menjawab pertanyaan semacam ini. Mungkin juga saya berlebihan dan kurang gaul. Bagaimana menurut Anda? Yang pasti, dengan kebiasaan saya ini, bisa jadi ada orang yang sudah sangat benci dengan saya.
Saya yakin, umur dan lingkungan pertemanan tentu saja berpengaruh. Meskipun masing-masing orang akan berpendapat berbeda, saya berpendapat bahwa akan lebih aman jika kita menggunakan cara standar dalam berkomunikasi. Jika menyapa orang yang belum dikenal, tentu lebih aman menggunakan bahasa agak resmi, mengawali komunikasi dengan sapaan dan menutup dengan santun pula. Segaul apapun orang dan secuek apapun dia, diperlakukan secara agak resmi di awal komunikasi harusnya tidak apa-apa. Jika setelah itu dia menginginkan komunikasi yang lebih santai dan gaul, tentu tidak susah untuk disesuaikan.
Saya juga yakin bahwa tentu akan sangat bagus kalau setiap orang berusaha untuk memahami perbedaan antargenerasi dalam berkomunikasi. Para orang tua tidak harus berbahasa formal terus-terusan, apalagi jika berhadapan dengan anak muda. Sebaliknya, anak muda tentu harus memahami situasi generasi yang lebih senior. Sadarilah bahwa ada perbedaan nilai antargenerasi itu. Saya sendiri percaya bahwa orang tua boleh gaul dan anak muda juga boleh santun dan agak resmi. Maka dari itu, saya selalu berkonsultasi pada kitab gaul kalau sedang berkomunikasi dengan anak muda.

From netsains.com

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More